Selasa, 25 April 2017

PENGADILAN PUISI

Nama         : Iin Saftriani
Nim            : 1614015033
Prodi          : Sastra Indonesia (A)

PENGADILAN PUISI
          Sejak tahun 50-an hingga sekarang, agaknya Kesusastraan Indonesia modern selalu diwarnai oleh perdebatan/polemik yang menyangkut berbagai hal.
          Menurut Sapardi Djoko Damono, gagasan asli pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasannya itu dalam karangan yang berjudul “ Tentang Pengadilan Puisi “ di sebuah harian Jakarta. Dan baru pada tahun 1974 lah gagasan itu bisa diwujudkan di Bandung (dalam Pengadilan Puisi ini Darmanto bertindak sebagai “ Hakim Anggota”).
          Pada dasarnya “ pengadilan puisi “ yang diadakan di Bandung tidak banyak memberi kesan kepada saya. Pertama – tama saya telah biasa mendengar berbagai macam pertanyaan, statement yang terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian – pembuktian seperti misalnya : tak ada puisi setelah Chairil Anwar, Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang kritikus dan banyak lagi, tetapi tanpa keterangan dan penjelasan tentu tidak ada artinya pernyataan – pernyataan itu. Pernyataan itu sama saja dengan pernyataan lain : tidak ada pengarang di Indonesia, bahkan juga pernyataan : sebenarnya tidak ada orang atau manusia di Indonesia dan ucapan – ucapan ekstrim lainnya.
          Kebutuhan akan mitos praktis untuk mempertahankan eksistensi sebagai berhala – apalagi pada masa – masa surut puisi Indonesia yang biasa disebut sebagai malaise itu. Sajak – sajak sosial Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan seterusnya, diiringi dengan pembacaan sajak di kampus – kampus telah membawa perspektif baru tentang kemungkinan Indonesia. Kita tidak butuh lagi mitos untuk mempertahankan eksistensi puisi, kata sementara orang. Tapi orang lain bilang : Baik kita bikin mitos – mitos baru tentang W.S. Rendra, dan seterusnya. Atau, agak sesuai dengan makin popnya sajak – sajak Abdul Hadi bikin Abdul Hadi Fans Club, dan seterusnya.
          Pada keduanya kita saksikan, betapa malang kritik sastra kita. H.B. Jassin, yang sering dibilang terlalu mau mendidik dengan selalu beri senyum pada tiap akademisi, terlalu analitis. Muncul keinginan – keinginan baru untuk menulis kritik sastra Ganzheit, kritik sastra dengan metode merunut, menemukan intentio creatice dari pengarangnya. Namun demikian lihat, lebih banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat – pejabat pengadilan : merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi – saksi, mendengarkan pembelan, kemudian memutuskan hukuman.
          Jadi, apa salahnya kita minta pengadilan untuk puisi. Pertama – tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikian penyair – penyair sudah tidak lagi dikejar – kejar pertanyaan tuntutan : Relevankah kehadiran puisi di Indonesia? Kemudian yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian penyair – penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Yakni untuk mencegah terjadinya kerusuhan – kerusuhan di dalam masyarakat, akibat adanya hal – hal yang tak perlu dipuisikan sebab efeknya negatif terhadap masyarakat. Kemudian yang ketiga, tentu saja pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman pada penyair – penyair yang suka mengacau ; tentu saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak –sajak kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.
          Kalau demikian halnya, tentu diperlukan juga adanya Dewan Pertimbangan Kenaikan Pangkat Penyair. Untuk kenaikan pangkat, tentu saja dipertimbangkan pertama – tama prestasi; sebab, ini tuntutan yang demokrasis sesuai dengan hukum – hukum terbaru masyarakat modern dalam masalah “ bekerja “. Tentu saja bukan prestasi maksimal kebetulan, tapi prestasi yang konsisten pada suatu periode. Ini penting, sebab bisa menjaga supaya penyair yang kebetulan Cuma bisa sekali dua kali menulis sajak naik, tidak kecepatan naik pangkat dibanding penyair yang sajak – sajaknya lebih banyak dan memiliki kualitas tetap tinggi, namun sedikit sedikit dibawah prestasi maksimal penyair insidental tersebut. Jadi, prestasi didasarkan pada kualitas dan kuantitas hasil puisi dalam suatu span of time.pertimbangan kedua, tentunya jasa terhadap perkembangan masyarakat.
          Dewan Pertimbangan hendaknya ini mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”,”biasa”, atau “kurang”. Di samping tentu saja mencantumkan aliran atau mode apa yang dianut penyair. Misalnya, Abdul Hadi W.M. naik dari magang ke calon, dengan predikat “ cemerlang “ aliran : romantik ; mode : tamasya alam. Kemudian untuk kenaikan Abdul Hadi dari pangkat calon ke hampir penyair, predikat “ biasa “ ; aliran : happening ; mode : “pop”.
          Demikianlah kelas – kelas dalam kepenyairan bisa ditertibkan, honorarium bisa ditertibkan, sanksi – sanksi kepangkatan bisa ditertibkan. Pada pokoknya, administrasi kepenyairan di Indonesia : beres. Kalau seorang turis ingin ketemu penyair kelas II, tak usah ribut – ribut cari ke Yogya atau Semarang ; cukup ke Jakarta dia akan ketemu banyak. Atau kalau seorang penerbit ingin membuat iklan puitis, jangan sampai keliru alamat minta dari penyair kelas I. Job description dari tiap penyair akan jelas dalam suatu katalogus.
          Sekarang mari kita ingat kembali Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I? Karena saingan – saingannya masih sedikit, misalnya Amir Hamzah, Sitor Situmorang, W.S. Rendra, maka nampaknya, boleh – boleh saja kita golongkan kelas I. Tapi susahnya, nanti kalau misalnya anak saya jauh lebih bagus dari Chairil menulis sajaknya, apa ia hanya akan dikelaskan sebagai penyair kelas I? Tentu saja takkan rela. Perlu kelas 0. Nah. Kalau begitu, bagaimana penyair – penyair yang nanti mungkin lebih bagus dari anak-anak.
Menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang ; berdasarkan KUHP (kitab undang – undang hukum puisi ) , seperti tejelma dalam pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam  “ Peradilan Puisi” Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1.      Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B Jasssin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2.      Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.      Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4.      Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SET” nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar