Nama : Iin Saftriani
Nim : 1614015033
Prodi : Sastra Indonesia (A)
Sejak
tahun 50-an hingga sekarang, agaknya Kesusastraan Indonesia modern selalu
diwarnai oleh perdebatan/polemik yang menyangkut berbagai hal.
Menurut Sapardi Djoko Damono, gagasan
asli pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1972, Darmanto
mengumumkan gagasannya itu dalam karangan yang berjudul “ Tentang Pengadilan
Puisi “ di sebuah harian Jakarta. Dan baru pada tahun 1974 lah gagasan itu bisa
diwujudkan di Bandung (dalam Pengadilan Puisi ini Darmanto bertindak sebagai “
Hakim Anggota”).
Pada dasarnya “ pengadilan puisi “
yang diadakan di Bandung tidak banyak memberi kesan kepada saya. Pertama – tama
saya telah biasa mendengar berbagai macam pertanyaan, statement yang terlalu
umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi
dan pembuktian – pembuktian seperti misalnya : tak ada puisi setelah Chairil
Anwar, Kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang kritikus dan
banyak lagi, tetapi tanpa keterangan dan penjelasan tentu tidak ada artinya
pernyataan – pernyataan itu. Pernyataan itu sama saja dengan pernyataan lain :
tidak ada pengarang di Indonesia, bahkan juga pernyataan : sebenarnya tidak ada
orang atau manusia di Indonesia dan ucapan – ucapan ekstrim lainnya.
Kebutuhan akan mitos praktis untuk
mempertahankan eksistensi sebagai berhala – apalagi pada masa – masa surut
puisi Indonesia yang biasa disebut sebagai malaise itu. Sajak – sajak sosial
Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan seterusnya, diiringi dengan pembacaan sajak di kampus
– kampus telah membawa perspektif baru tentang kemungkinan Indonesia. Kita
tidak butuh lagi mitos untuk mempertahankan eksistensi puisi, kata sementara
orang. Tapi orang lain bilang : Baik kita bikin mitos – mitos baru tentang W.S.
Rendra, dan seterusnya. Atau, agak sesuai dengan makin popnya sajak – sajak
Abdul Hadi bikin Abdul Hadi Fans Club, dan seterusnya.
Pada keduanya kita saksikan, betapa
malang kritik sastra kita. H.B. Jassin, yang sering dibilang terlalu mau
mendidik dengan selalu beri senyum pada tiap akademisi, terlalu analitis.
Muncul keinginan – keinginan baru untuk menulis kritik sastra Ganzheit, kritik
sastra dengan metode merunut, menemukan intentio creatice dari pengarangnya.
Namun demikian lihat, lebih banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat –
pejabat pengadilan : merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi – saksi,
mendengarkan pembelan, kemudian memutuskan hukuman.
Jadi, apa salahnya kita minta
pengadilan untuk puisi. Pertama – tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup
puisi Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikian penyair – penyair
sudah tidak lagi dikejar – kejar pertanyaan tuntutan : Relevankah kehadiran
puisi di Indonesia? Kemudian yang kedua, ini penting, sebab dengan demikian
penyair – penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan
mana yang tidak. Yakni untuk mencegah terjadinya kerusuhan – kerusuhan di dalam
masyarakat, akibat adanya hal – hal yang tak perlu dipuisikan sebab efeknya
negatif terhadap masyarakat. Kemudian yang ketiga, tentu saja pengadilan ini
berhak menjatuhkan hukuman pada penyair – penyair yang suka mengacau ; tentu
saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak –sajak kotor dan
menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.
Kalau demikian halnya, tentu
diperlukan juga adanya Dewan Pertimbangan Kenaikan Pangkat Penyair. Untuk
kenaikan pangkat, tentu saja dipertimbangkan pertama – tama prestasi; sebab,
ini tuntutan yang demokrasis sesuai dengan hukum – hukum terbaru masyarakat
modern dalam masalah “ bekerja “. Tentu saja bukan prestasi maksimal kebetulan,
tapi prestasi yang konsisten pada suatu periode. Ini penting, sebab bisa
menjaga supaya penyair yang kebetulan Cuma bisa sekali dua kali menulis sajak
naik, tidak kecepatan naik pangkat dibanding penyair yang sajak – sajaknya
lebih banyak dan memiliki kualitas tetap tinggi, namun sedikit sedikit dibawah
prestasi maksimal penyair insidental tersebut. Jadi, prestasi didasarkan pada
kualitas dan kuantitas hasil puisi dalam suatu span of time.pertimbangan kedua,
tentunya jasa terhadap perkembangan masyarakat.
Dewan Pertimbangan hendaknya ini
mencantumkan juga predikat promosi penyair. Misalnya, “cemerlang”,”biasa”, atau
“kurang”. Di samping tentu saja mencantumkan aliran atau mode apa yang dianut
penyair. Misalnya, Abdul Hadi W.M. naik dari magang ke calon, dengan predikat “
cemerlang “ aliran : romantik ; mode : tamasya alam. Kemudian untuk kenaikan
Abdul Hadi dari pangkat calon ke hampir penyair, predikat “ biasa “ ; aliran :
happening ; mode : “pop”.
Demikianlah kelas – kelas dalam
kepenyairan bisa ditertibkan, honorarium bisa ditertibkan, sanksi – sanksi kepangkatan
bisa ditertibkan. Pada pokoknya, administrasi kepenyairan di Indonesia : beres.
Kalau seorang turis ingin ketemu penyair kelas II, tak usah ribut – ribut cari
ke Yogya atau Semarang ; cukup ke Jakarta dia akan ketemu banyak. Atau kalau
seorang penerbit ingin membuat iklan puitis, jangan sampai keliru alamat minta
dari penyair kelas I. Job description dari tiap penyair akan jelas dalam suatu
katalogus.
Sekarang mari kita ingat kembali
Chairil Anwar. Dalam masalah kelas, bisakah dia dibilang kelas I? Karena
saingan – saingannya masih sedikit, misalnya Amir Hamzah, Sitor Situmorang,
W.S. Rendra, maka nampaknya, boleh – boleh saja kita golongkan kelas I. Tapi
susahnya, nanti kalau misalnya anak saya jauh lebih bagus dari Chairil menulis
sajaknya, apa ia hanya akan dikelaskan sebagai penyair kelas I? Tentu saja
takkan rela. Perlu kelas 0. Nah. Kalau begitu, bagaimana penyair – penyair yang
nanti mungkin lebih bagus dari anak-anak.
Menimbang
perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan
menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, dan menuntut yang adil
dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang
menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang ; berdasarkan
KUHP (kitab undang – undang hukum puisi ) , seperti tejelma dalam pasal demi
pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami
sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam “ Peradilan Puisi” Kontemporer”, mengajukan
tuntutan sebagai berikut:
1.
Para kritikus
yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir,
khususnya H.B Jasssin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan
yang pernah mereka miliki.
2.
Para editor
majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3.
Para penyair
established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya (dan lain-lain)
dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan.
Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4.
Horison dan
Budaya Jaya harus dicabut “SET” nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan
tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum
sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan
wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar